FILSAFAT PENDIDIKAN : filosofi tujuan pendidikan
BAB I
PENDAHULUAAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari filsafat, karena dimana ada pendidikan disitulah ada filsafat. Diibaratkan pendidikan tersebut jasmani dan filsafat sebagai rohaninya, keduanya tidak dapat dipisahkan.Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta aktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Pendidikan tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami tujuan akhirnya.
Tujuan pendidikan menggambarkan tentang idealisme, cita-cita keadaan individu atau masyarakat yang dikehendaki. Karenanya tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, sebab tidak saja memberikan arah kemana harus dituju, tetapi juga memberikan arah ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, alat/media, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.Dalam menghadapi keadaan pendidikan terutama di Indonesia yang tidak teratur, merosotnya moral suatu bangsa, dan masalah-masalah lainnya diperlukan suatu tujuan sebagai pandangan hidup mereka untuk mencapai suatu tujuan akhir dari pendidikan tersebut. Sehubungan dengan masalah tersebut, disini kami akan menjelaskan lebih lanjut mengenai tinjauan filosofi tujuan pendidikan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dari berbagai penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa yang di maksud ontology,epistomologi,dan axiology ?
b. Apa yang dimaksud dengan tujuan pendidikan?
c. Apa fungsi tujuan pendidikan?
d. Bagaimanakah gambaran filosofis tujuan pendidikan di Indonesia saat ini?
1.3 Tujuan Makalah
a.
Mengetahui gambaran filosofis
tujuan pendidikan di Indonesia.
b. pikiran kita seberapa besar konstribusi kita dalam membangun pendidikan di Indonesia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi, Epistemologi, dan Axiologi
1. ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
2. EPISTIMOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan
pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:
1. Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.
2. Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)
Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
3. Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)
Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
4. Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
5. Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.
3. AXIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
B.Tujuan Pendidikan
Setiap pelaksanaan pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk menuju ke suatu tujuan, dan tujuan-tujuan ini diperintah oleh tujuan-tujuan akhir yang umum pada esensinya ditentukan oleh masyarakat, yang dirumuskan secara singkat dan padat, seperti kematangan dan kesempurnaan pribadi. Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik individu maupun kelompok. Tujuan pendidikan itu sendiri menyangkut beberapa sistem dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan atau religi, filsafat, ideologi.
Secara umum tujuan pendidikan diartikan dapat membawa anak ke arah tingkat kedewasaan. Artinya, membawa anak didik agar dapat berdiri sendiri(mandiri) didalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini ada empat macam tujuan pendidikan yang tingkatan dan luasnya berlainan yaitu tujuan pendidikan Nasional, tujuan Institusional, tujuan Instruksional dan tujuan Kurikuler.
1.Tujuan Pendidikan Nasional
Yaitu membangun kualitas manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga Negara yang berjiwa Pancasila yang mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan hubungan yang baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetika, sanggup untuk membangun diri dan masyarakat.
2.Tujuan Institusional
Adalah perumusan secara umum pola prilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.
3.Tujuan Instruksional
Adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh siswa atau anak didik sesudah ia melewati keguatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil.
4.Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler yaitu untuk mencapai pola prilaku dan pola kemampuan serta ketrampilan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga, yang sebenarnya merupakan tujuan institusional dari lembaga pendidikan tersebut. Tujuan kurikuler ini penting untuk menentukan macam pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan, atau dengan singkat macam pengalaman apa yang akan diberikan kepada siswa.apabila tujuan kurikulum ditentukan oleh tujuan institusional, maka pada gilirannya tujuan kurikuler ini mempengaruhi dan menentukan tujuan institusional.
Adapun tujuan pendidikan yang lain, maka definisi yang paling sederhana yaitu perubahan yang diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapai tujuannya baik pada tingkah laku individu maupun pada kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat dan pada alam sekitar individu hidup, atau proses pendidikan itu sendiri maupun proses pengajaran sebagai aktivitas yang asasi dan sebagai proposisi diantara profesi-profesi asasi di dalam bermasyarakat.
Jadi tujuan pendidikan menurut definisi ini adalah perubahan-perubahan yang diinginkan pada bidang asasi yaitu:
a. Tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu pelajar(learning) dan dengan pribadi mereka dan apa yang berkaitan dengan individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada perubahan tigkah laku aktivitas dan pencapaiannya dan pada persiapan yang diharuskan pada kehidupan dunia mereka.
b.Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat sebagai keseluruhan, tingkah laku masyarakat umumnya dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diinginkan, pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajauan yang diinginkan.
c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan an pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.[4]
C. Fungsi Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha secara sadar yang berarti bahwa usaha tersebut permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha terhenti karena mengalami kegagalan sebelum mencapai tujuan, namun usaha tersebut belum dapat disebut berakhir. Dan pada umumnya suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah tercapai.
Dari paparan diatas maka fungsi tujuan pendidikan yang kita maksud adalah mengakhiri dan mengarahkan tujuan tersebut juga suatu tujuan dapat pula merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, baik merupakan tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama kemudian fungsi dari tujuan pendidikan itu sendiri bisa bermakna memberi nilai pada suatu usaha-usaha tersebut.[5]
Menurut Brubacher tujuan pendidikan melaksanakan tiga fungsi penting yang kesemuannya bersifat normatif yaitu:
a. Tujuan pendidikan memberikan arah pada proses yang bersifat edukatif.
b.Tujuan pendidikan tidak harus selalu memberi arah pada pendidikan tetapi harus mendorong atau memberikan motivasi sebaik mungkin.
c.Tujuan pendidikan mempunyai fungsi untuk memberikan pedoman atau menyediakan kreteria-kreteria dalam menilai proses pendidikan.
Artinya, jika seseorang akan menguji murid atau anak didik atau pengakuan terhadap sekolah-sekolah menengah atau perguruan tinggi, ia harus mempunyai acauan pada tujuan pendahuluan.
D. Gambaran Filosofi Tujuan Pendidikan di Indonesia
Tujuan pendidikan nasional Indonesia pun tidak terlepas dari pengaruh madzhab-madzhab filsafat pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik, ini berkaitan dengan filsafat pendidikan idealisme yang berusaha pula mengembangkan bakat atau kemampuan dasar dalam tujuan pendidikannya. Potensi peserta didik dalam tujuan pendidikan Indonesia harus membentuk manusia yang cakap, kreatif dan mandiri. Hal ini pula berkaitan dengan filsafat pendidikan progresivisme yang menekankan pemberian keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Yang dimaksud dengan alat-alat disini adalah keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Dilihat dari karakteristik pendidikan Indonesia secara umum pendidikan Indonesia cenderung kepada filsafat progresivisme. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam pendidikan Indonesia saat ini bahwa :
1. Pendidikan harus terpusat pada anak (child-centered), bukan memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
2. Pembekalan terhadap keterampilan pemecahan masalah, proses belajar terpusatkan pada perilaku cooperative.
3. Kurikulum menggunakan pendekatan interdisipliner, muatan kurikulum diperoleh dari minat-minat siswa.
4. Pengajaran dikatakan efektif jika mempertimbangkan anak secara menyeluruh dan minat-minat serta kebutuhan-kebutuhannya dalam hubungannya dengan bidang-bidang kognitif, afektif, dan psikomotor.
5. Bertujuan mengajar siswa berfikir rasional sehingga mereka
menjadi cerdas, yang memberi kontribusi pada masyarakat.Jadi menurut
progresivisme, pendidikan di Indonesia sebaiknya selalu dalam proses
pengembangan, penekanannya adalah perkembangan individu, masyarakat, dan
kebudayaan. Pendidikan harus siap memperbarui metode, kebijaksanaannya
berhubungan dengan perkembangan sains dan teknologi, serta perubahan
lingkungan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah mencerdaskan
potensi-potensi spiritual, intelektual, dan emosional setiap individu yang pada
gilirannya berpengaruh terhadap masyarakat luas. Dan tujuan pendidikan itu
bersifat dinamis, yaitu setiap zaman tujuannya bisa berubah-ubah sesuai
kebutuhan pada zaman tersebut. Selain itu tujuan pendidikan juga dipengaruhi
oleh kebudayaan, sehingga tujuan pendidikan akan berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan
daerah setempat.Tujuan pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan potensi
peserta didik, hal ini berkaitan dengan filsafat pendidikan idealisme yang
berusaha mengembangkan bakat atau kemampuan dasar dalam tujuan pendidikannya.
Potensi peserta didik dalam tujuan pendidikan Indonesia harus membentuk manusia
yang cakap, kreatif dan mandiri. Hal ini pula berkaitan dengan filsafat
pendidikan progresivisme yang menekankan pemberian keterampilan dan alat-alat
yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
B. Saran
Tujuan pendidikan nasional dipandang perlu untuk diumuskan kembali, sehingga memuat secara implisit filosofi pendidikan yang mampu membimbing, menuntun, memimpin. Filosofi pendidikan yang seperti ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksaka kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan seperti ini lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Filosofi pendidikan yang demikian ini belum terakomodasi oleh Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas, padahal filosofi pendidikan seperti ini akan mengantarkan pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan peserta didik
.
Komentar
Posting Komentar