Makalah: Perwujudan HAM menurut UUD 1945 Sesudah Amandemen
KONSEP DASAR PENDIDIKAN
KEWARGANEGRAAN
“Perwujudan
HAM Menurut UUD 1945 Sesudah Amandemen”
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
HAM
Hak-hak asasi
manusia adalah menjadi hak-hak konstitusional karena statusnya yang lebih
tinggi dalam hirarki norma hukum biasa, utamanya ditempatkan dalam suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Artinya memperbincangkan kerangka normatif
dan konsepsi hak-hak konstitusional sesungguhnya tidaklah jauh berbeda dengan
bicara hak asasi manusia.
Ada berbagai versi umum
pengertian mengenai HAM.Setiap pengertian menekankan pada segi-segi tertentu
dari HAM.Berikut beberapa definisi tersebut. Adapun beberapa definisi Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah sebagai berikut:
1.
Austin-Ranney, HAM
adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi
dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.
2.
A.J.M. Milne, HAM
adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia di segala masa dan di segala
tempat karena keutamaan keberadaannya sebagai manusia.
3. UU
No. 39 Tahun 1999, Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. Konsepsi HAM dalam UUD 1945
Sesudah Amandemen
Memasukkan
hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salah satu ciri
konstitusi moderen.Setidaknya, dari 120an konstitusi di dunia, ada lebih dari
80 persen diantaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia,
utamanya pasal-pasal dalam DUHAM.Perkembangan ini sesungguhnya merupakan
konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas
internasional, utamanya melalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa.Sejak
dideklarasikannya sejumlah hak-hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM 1948 (Universal Declaration of Human Rights), yang kemudian diikuti oleh
sejumlah kovenan maupun konvensi internasional tentang hak asasi manusia, maka
secara bertahap diadopsi oleh negara-negara sebagai bentuk pengakuan rezim
normatif internasional yang dikonstruksi untuk menata hubungan internasional.
Meskipun
demikian, dalam konteks sejarah dan secara konsepsional, Undang-Undang Dasar
1945 yang telah lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak asasi manusia yang
cukup progresif, karena sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UndangUndang
Dasar 1945, alinea 1:
“Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Konsepsi
HAM tersebut tidak hanya ditujukan untuk warga bangsa Indonesia, tetapi seluruh
bangsa di dunia! Di situlah letak progresifitas konsepsi hak asasi manusia di
tengah berkecamuknya perang antara blok negara-negara imperial. Konsepsi yang
demikian merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia yang menjadi
dasar tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Wiratraman 2005a: 32-33).
DUHAM
1948 kemudian banyak diadopsi dalam Konstitusi RIS maupun UUD. Sementara 1950,
dimana konstitusi-konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang paling berhasil
memasukkan hampir keseluruhan pasal-pasal hak asasi manusia yang diatur dalam
DUHAM (Poerbopranoto 1953 : 92). Di tahun 1959, Soekarno melalui Dekrit
Presiden telah mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, dan seperti pada awalnya
disusun, kembali lahir pengaturan yang terbatas dalam soal hak-hak asasi
manusia.Dalam sisi inilah, demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided democracy) telah memperlihatkan
adanya pintu masuk otoritarianisme, sehingga banyak kalangan yang menganggap
demokrasi menjadi kurang sehat.
Di
saat rezim Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, konsepsi jaminan hak asasi
manusia dalam UUD 1945 justru sama sekali tidak diimplementasikan. Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas
nampak dalam sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967
(Cribb 1990; Budiarjo 1991), peristiwa Priok (Fatwa 1999), dan penahanan serta
penculikan aktivis partai pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam
kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo (Elsam
& LCHR 1995), dan pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang (Hardiyanto
et. all (ed) 1995). Praktis, pelajaran berharga di masa itu, meskipun jaminan
hak asasi manusia telah diatur jelas dalam konstitusi, tidak serta merta di
tengah rezim militer otoritarian akan mengimplementasikannya seiring dengan
teks-teks konstitusional untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Setelah situasi tekanan politik ekonomi yang panjang
selama lebih dari 30 tahun, desakan untuk memberikan jaminan hak asasi manusia
pasca Soeharto justru diakomodasi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasalpasal di dalam undang-undang
tersebut -- nyatanya -- cukup memberikan pengaruh pada konstruksi pasal-pasal
dalam amandemen UUD 1945, terutama pada perubahan kedua (disahkan pada 18
Agustus 2000) yang memasukkan jauh lebih banyak dan lengkap pasal-pasal tentang
hak asasi manusia.Bandingkan saja kesamaan substansi antara UUD 1945 dengan UU
Nomor 39 Tahun 1999.
C.
Mekanisme
perlindungan HAM
Dalam pasal 28I
ayat (4) UUD 1945 pasca amandemen jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam
HAM.Sedangkan dalam pasal 28I ayat (5) menegaskan penegakan dan perlindungan
hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Rumusan kata
‘dalam’ pada pasal 28I ayat (5), “....dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan” memberikan arti bahwa hak asasi manusia tidak
hanya diatur dengan suatu perundang-undangan khusus, melainkan ‘dalam’ segala
perundangundangan yang tidak sekalipun mengurangi substansi hak asasi manusia
dalam konstitusi.Konsep yang demikian haruslah dipahami oleh Negara sebagai
konsep pentahapan maju kewajiban hak asasi manusia dan perlindungan hak-hak
konstitusional melalui strategi legislasi (progressive
realization).
Sejak amandemen
konstitusi, dalam konteks kebijakan dan legislasi, salah satu mekanisme
tambahan selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Hadjon 1987)
dan Mahkamah Agung, yang bisa memberikan perlindungan hak-hak konstitusional
adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang
terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang MK yang bisa menjadi
benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat
penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam
konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan
politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan
sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang
kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’
melalui gugatan ke MK. Meskipun demikian, perlindungan hak-hak konstitusional
belum tentu benar-benar bisa dijamin melalui mekanisme tersebut, karena sangat
bergantung dengan otoritas penafsiran mayoritas melalui putusan sembilan
hakim.
Misalnya,
Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, judicial review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
mayoritas hakim MK berpendapat liberalisasi outsourcing
bukanlah persoalan yang bertentangan hak asasi manusia atau hak konstitusional.
Begitu juga Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 020/PUUIV/2006, judicial review UU No. 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mayoritas hakim MK berpendapat membatalkan
keseluruhan isi undangundang tersebut, tanpa melihat aspek dampak terhadap
korban dan keluarga korban yang kian tidak jelas proses rehabilitasi dan
kompensasinya, termasuk pertanggungjawaban pelaku kejahatan hak asasi manusia.
Putusan tersebut dirasakan memperkuat pelanggengan impunitas yang sudah pekat
terjadi di Indonesia. Menurut catatan Elsam, setidaknya putusan MK tersebut
berdampak pada: (i) Hilangnya kerangka hukum bagi narasi korban: terbukanya
kembali ruang pengingkaran tanggung jawab negara atas kekerasan masa lalu; (ii)
Hilangnya roh pengungkapan kebenaran dan keberlangsungan praktek impunitas
(Saptaningrum et. all. 2006).
Meskipun
demikian, dalam sistem ketatanegaraan, eksistensi Mahkamah Konstitusi haruslah
diperkuat sebagai lembaga yang bisa menyeimbangkan kekuasaan Negara, baik
kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Beberapa Putusan MK juga perlu
diapresiasi sebagai bentuk perlindungan hak-hak konstitusional, seperti salah
satunya dalam Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003, judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD. Dalam putusan ini, mayoritas hakim MK mengabulkan gugatan pemohon
dengan substansi pemulihan hak-hak kewarganegaraan (hak-hak sipil dan politik)
para anggota/simpatisan PKI.
Dalam rangka
membangun mekanisme yang melindungi secara lebih kuat hak-hak konstitusional
warga negara, perlu diatur dalam konstitusi tentang hak gugat konstitusional (constitutional complaint), yang
kewenangan untuk memutuskannya ada di tangan MK. UUD 1945 pasca amandemen belum
memberikan jaminan constitutional
complaint, padahal bagi warga negara yang hak-hak dasarnya dilanggar (constitutional injury) senantiasa
berhadapan dengan mekanisme apa yang bisa digunakan. Misalnya, dalam kasus
Ahmadiyah, bila mereka merasa kebebasan beragama sebagai kebebasan dasar yang
dijamin konstitusi dilanggar, maka mereka bisa menggunakan mekanisme constitutional complaint melalui
Mahkamah Konstitusi.
Belajar dari
praktek ketatanegaraan di Jerman, constitutional
complaint memiliki fungsi ganda: Pertama, fungsi suatu pemulihan di luar
kebiasaan (extraordinary remedy),
yang memberikan hak bagi warga negara untuk mempertahankan hak-hak
konstitusionalnya; Kedua, fungsi untuk menegakkan tujuan hukum dasar, dan
menjalankan penafsiran dan pembangunannya (Alexy 2002: 254). Yang perlu
dipertimbangkan dalam mengusulkan mekanisme ini adalah hukum acara yang berlaku
haruslah rinci dan jelas, agar tidak
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesumpulan
Menguatnya
hak asasi manusia secara tekstual konstitutif, tidak serta merta kerangka
normatifnya akan memberikan jawaban tuntas atas kerangka implementatifnya.
Justru sebaliknya sebagaimana diingatkan oleh Baxi (2002: viii) dalam The Future of Human Rights, “Jumlah
rakyat yang kehilangan hak-hak juga meningkat justru ketika standar dan norma
hak asasi manusia kian lengkap. Semakin banyak orang yang berdiri memberkati
kerangka normatif hak asasi manusia melalui instrumen konstitusional dan
internasional, semakin meluas dan menajam lahirnya penderitaan rakyat yang
secara eksistensi tersingkirkan perwujudan dan penikmatan hak-hak asasi
manusianya.”
Oleh
sebabnya, bangunan politik hak asasi manusia menjadi penting untuk terus
menerus dikoreksi, tidak saja secara konsepsional dan pengaturannya, tetapi
tantangannya justru bagaimana Negara mampu dan berdaya untuk
mengimplementasikannya di tengah kekuatan besar liberalisasi pasar, yang
menyuguhkan animasi politik hak asasi manusia yang mistifikatif.
B.
Saran
Diharapkan kepada para pembaca agar
menambah wawasannya terhadap perwujudan HAM menurut UUD 1945 sesudah amandemen,
agar lebih menignkatkan kecintaan terhadap NKRI
Komentar
Posting Komentar